Advertisement

SELAMAT DATANG DI BLOG PRIBADI SAYA







Berita Terkini dari ANTARA

  • BAGAIMANA MENJADI WARTAWAN PROFESIONAL?

    BAGAIMANA MENJADI WARTAWAN PROFESIONAL?


    Banyak masyarakat pada umumnya, yang ingin menjadi wartawan. Motifnya macam-macam. Ada yang beranggapan, menjadi wartawan itu keren, bergengsi, dapat masuk ke mana-mana, bisa ketemu dengan pejabat atau artis untuk wawancara, dan sebagainya. Persepsi seperti itu sesungguhnya salah, bahkan menyesatkan.


    Profesi wartawan bukan untuk ”gagah-gagahan”. Profesi ini sangat jauh dari persepsi yang sepele seperti itu. Dunia pers, dengan demikian juga wartawan, adalah kepanjangan tangan publik, penyambung lidah rakyat, terutama rakyat yang tertindas, the silence majority. Bahkan dalam negara yang demokratis, pers merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dari sistem demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, yudikatif. Luar biasa, bukan?


    Untuk dapat menjalani profesi wartawan yang benar, serius, sungguh-sungguh, Anda harus memenuhi tiga hal. Bolehlah kita sebut sebagai ”trilogi jurnalisme”. Pertama, Anda harus profesional. Bukan hanya wartawan, semua profesi, jabatan, pekerjaan, sesungguhnya harus dikerjakan secara profesional. Wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (ketrampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika Anda tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa disebut tidak profesional.


    Tapi, profesional saja tidaklah cukup. Anda mesti mengenal apa yang disebut ”integritas,” kejujuran, dalam pengertian bahwa sebagai wartawan Anda mesti jujur (dan paham) terhadap profesi, menyadari jatidiri Anda sebagai kepanjangan tangan dari aspirasi publik, kepada siapa Anda semestinya bertanggungjawab secara moral. Profesional dan punya integritas belum lengkap jika Anda tidak memiliki sikap independen, sebagai bagian yang integral dari ”trilogi jurnalisme,” yaitu profesional, integritas dan independen, tidak berpihak, obyektif, dan hanya berpihak atau bertanggung jawab kepada publik.


    Karena bertanggung jawab kepada publik, dan oleh karena itu harus independen, maka jadilah pers – dan dengan demikian juga wartawan – merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dalam negara yang menganut sistem demokrasi -- di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jika pilar demokrasi ciptaan Jean Jacques Rousseau yang disebut ”trias politica” itu saling mengontrol satu sama lain, sehingga terjadi check and balance, maka pers sebagai pilar ke empat berperan sebagai ”anjing penjaga” (watch dog) agar check and balance dalam sistem demokrasi itu berjalan dengan semestinya.



    Dalam konteks Indonesia, Anda harus memahami UU Nomor 40/1999 tentang Pers yang melindungi tugas wartawan sebagai profesi dan menjamin kebebasan pers. Namun harap diingat, dan jangan salah paham, bahwa kebebasan pers sesungguhnya bukanlah semata-mata merupakan kepentingan pers. Sebab, kebebasan pers (freedom of the press atau press freedom) merupakan konsekwensi logis dari sistem demokrasi, ketika pers menjadi watch dog dalam rangka perannya sebagai the fourth estate.



    Pengertian ”kebebasan pers” tentu saja bukanlah bebas sebebas-bebasnya, menulis semau gue, tak peduli pada aturan apapun, melainkan bebas dalam mengakses informasi yang dibutuhkan oleh publik. Sebab, pers sebagai ”pilar ke empat” dalam sistem demokrasi -- yang adalah juga ”kepanjangan tangan” dari aspirasi publik -- harus bebas dalam mengakses informasi publik. Mengapa? Sebab, kebebasan itu merupakan salah satu dari hak-hak sipil (hak untuk bebas berpikir, berpendapat, berbicara, menulis, berserikat, beragama, mencari nafkah) yang semuanya merupakan hak-hak manusia yang paling asasi.


    Dengan mengemban hak untuk mengakses informasi publik secara bebas, dan dengan demikian sebagai ”kepanjangan tangan publik” atau ”penyambung lidah rakyat”, maka pers berkewajiban memperjuangkan hak-hak sipil, terutama the silence majority. Dengan melaksanakan tugas profesional sebagai social control, pers dapat menjaga agar kekuasaan tetap berjalan di jalur rel demokrasi, tidak terjebak pada penyalah gunaan kekuasaan. Sebab, sebagaimana ungkapan sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902), ”the power tends to corrupt; the absolute power tends to absolute corrupt” (kekuasaan cenderung menyalah gunakan kekuasaan; kekuasaan yang mutlak cenderung menyalah gunakan kekuasaan secara mutlak pula).


    Oleh karena itu, pers harus bebas namun bertanggung jawab (kepada publik, kepada norma hukum, kepada common sense, bukan kepada kekuasaan). Namun, di lain pihak pers bukanlah can do no wrong (bukan tidak bisa salah). Sebab, jika pers can do no wong, bukan tak mungkin akan terjadi trial by the press (pengadilan sepihak oleh pers), bahkan tirani pers.

    more
  • Memberi Ruh pada Berita


    MANUSIA

    Setiap fotografer tahu bahwa gambar yang tidak menyertakan unsur kehidupan seperti manusia hanya akan berakhir nasibnya di keranjang sampah. Begitu pula dengan tulisan. Pembaca suka membaca tentang manusia

    lainnya. Mereka kurang berminat pada isu dan gagasan. Mereka lebih terpukau pada pribadi-pribadi. Jika kita bisa menampilkan sebuah wajah pada kisah rumit yang jarang diikuti pembaca, pembaca akan terpikat membacanya dan sekaligus memperoleh informasi.

    TEMPAT

    Pembaca menyukai sense of place. Kita bisa membuat tulisan lebih hidup jika kita bisa menyusupkan sense of place yang kuat. Misalnya: seperti apa lokasi tempat terjadinya pembunuhan itu, bagaimana suasana di balik panggung pertunjukan?

    INDERA

    Kita harus berupaya untuk menyentuh indera pembaca. Membuat mereka melihat cerita dalam detil visual yang kuat. Dan dalam konteks yang tepat, juga membuat mereka mendengar, meraba, merasakan, membaui dan mengalami.

    IRAMA

    Tulisan yang monoton bisa dibantu dengan perubahan irama di dalam

    naskah. Anekdot, kutipan, sebuah dialog pendek atau sebuah deskripsi dapat mengubah irama agar pembaca bisa terikat sepanjang cerita dan membuat tulisan itu lebih hidup.

    WARNA DAN MOOD

    Kamera televisi dapat menampilkan pemandangan yang sesungguhnya, dalam warna dan detil. Penulis tidak dapat menyajikan pemandangan dengan mudah, sehingga mereka harus berusaha keras untuk melukis dalam pikiran pembaca.

    Warna meliputi: citarasa, suara, bau, sentuhan dan rasa. Dan tentu saja sesuatu yang dapat dilihat: gerakan usapan, detil pakaian, rupa, perasaan. Warna bukan hanya sekedar kata sifat tetapi merupakan totalitas dari sebuah pemandangan.

    Dengan menggambarkan warna, berarti Anda juga menceritakan tentang suasana (mood). Bahagia? Penuh emosi dan ketegangan? Sering hal semacam ini memberikan ketajaman perasaan terhadap cerita ketimbang bagian lain yang Anda tulis.

    ANEKDOT

    Anekdot adalah sebuah kepingan kisah singkat sepanjang satu hingga lima alenia: ''cerita dalam cerita''. Anekdot umumnya menggunakan seluruh teknik dasar penulisan fiksi (narasi, karakterisasi, dialog, suasana) untuk mengajak pembaca melihat cerita secara langsung seperti mereka berada di tempat kejadian.

    Anekdot sering dipandang sebagai ''permata'' dalam cerita. Penulis yang piawai akan menaburkan permata itu di seluruh bagian cerita, bukan mengonggokkannya di satu tempat.

    HUMOR

    Humor adalah bentuk ekspresi yang paling personal. Berilah pembaca sebuah senyuman, dan mereka akan menjadi sahabat Anda sepanjang hari. Dan buatlah mereka menanti tulisan Anda esok harinya. Tapi hati-hati dengan humor yang tak bercita-rasa.

    PANJANG-PENDEK

    Makin pendek cerita makin baik. Kisah akan lebih hidup jika awalnya berdekatan dengan akhir (klimaks), sedekat mungkin. Alenia dan kalimat perlu bervariasi dalam panjang. Letakkan kalimat dan alenia pendek pada titik kejelasan terpekat atau tekanan terbesar.

    KUTIPAN

    Kutipan dalam tulisan berita memberikan otoritas. Siapa yang mengatakannya? Seberapa dekat keterlibatannya dengan sesuatu peristiwa dan masalah? Apakah kata-katanya patut didengar? Kutipan juga memberikan vitalitas karena membiarkan pembaca mendengar suara lain selain penuturan si penulis.

    DIALOG

    Perangkat ini jarang digunakan dalam koran atau majalah berita. Tapi, bisa menjadi wahana yang efektif untuk menghidupkan cerita. Dalam meliput sebuah siding pengadilan, misalnya, atau mendiskusikan permainan dengan para atlet olahraga tertentu, kita bisa menghidupkan cerita dengan membiarkan pembaca mendengarkan para partisipan berbicara satu sama lain.

    SUDUT PANDANG

    Kita bisa membuat sebuah cerita biasa menjadi hidup dengan mengubah sudut pandang. Cobalah untuk melihat inflasi misalnya, dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari harus mengatur anggaran keluarga.

    IDENTIFIKASI

    Sebuah tulisan akan lebih hidup jika pembaca merasa dilibatkan dalam cerita dan membuat mereka mengerti mengapa sebuah masalah bermanfaat untuk mereka ketahui. Secara insidental, pembaca paling mudah mengidentifikasikan diri jika cerita ditulis dalam bentuk orang ketiga-- cara kebanyakan fiksi ditulis.

    BERTUTUR

    Tulisan yang hidup memiliki irama dan nada berbincang yang baik. Memiliki suara. Kita bisa menghidupkan cerita yang membosankan dengan menulis sesuatu seperti kita sedang membicarakan sesuatu kepada seorang pembaca, dengan bahasa dan ungkapan keseharian yang kita pakai untuk berbicara.
    Tidak pernah ada yang benar-benar "privat"/"individu" dalam kehidupan ekosistem maupun sosial. Kecuali jika Anda hidup sendirian di pulau terpencil.

    Tapi, tentu saja, alam mengajarkan kepada kita tentang pentingnya keragaman, dalam hal tertentu individualitas. (Bunga mawar berbeda dengan cacing atau burung pelikan). Pertanian monokultur, yang menonjolkan keseragaman dan mengorbankan keragaman, gagal karena melawan hukum alam.

    Menjaga identitas individu di tengah kehidupan kolektif (bersama) karenanya merupakan urusan yang tricky, subtil dan rawan. Tapi, saya kira kuncinya adalah kesimbangan. Kita bisa menuntut hak individual untuk melakukan apa saja, namun pada saat yang sama perlu bersedia mengendalikan individualitas demi kehidupan bersama yang masuk akal.

    more
  • Benarkah ada “wartawan amplop?”


    Begitu reformasi digelindingkan dan era wadah tunggal wartawan berakhir, bukan hanya media atau wartawan yang jumlahnya berlipat. Organisasi ke-wartawan-an pun muncul di mana-mana. Ada yang dibangun secara serius dan profesional. Ada pula yang didirikan dengan motif yang boleh dibilang jauh dari upaya untuk meningkatkan citra baik wartawan.


    Wadah wartawan yang disebut terakhir, memang tidak bergema luas. Namun, biasanya keberadaan mereka dikenali lewat sikap anggotanya saat melakukan peliputan di lapangan. .

    Dalam menjalankan "tugas jurnalistiknya, mereka bersama-sama, sekitar enam hingga delapan orang. Yang biasa mereka datangi adalah acara-acara yang berpotensi membagi-bagikan amplop, seperti peresmian kantor atau peluncuran produk baru.

    Mereka juga kerap bergerilya dari satu acara ke acara lain yang digelar di hotel-hotel berbintang.


    Untuk mendapat amplop, bila datang di suatu acara, acap kali mereka membuat daftar hadir dari kelompok mereka. Daftar itu kemudian disodorkan ke panitia dengan harapan panitia menyediakan amplop kepada sejumlah nama yang telah tertera. Jika acara sudah selesai, tapi belum juga diberi amplop, mereka sabar menunggu berlama-lama.


    Sumber Independen mengatakan, jika panitia mengatakan tidak ada acara bagi-bagi amplop, mereka tidak segan untuk mengancam


    Pada dasarnya mereka memburu pejabat atau pengusaha bermasalah untuk kemudian bergaining. Mereka biasanya mengetahui adanya orang-orang bermasalah tersebut melalui media massa atau bocoran dari orang-orang terdekat dari sasaran. “Biasanya mereka memilih-milih sasaran yang akan dijadikan korban.


    Setelah menentukan sasaran korban, mereka akan mendatangi calon korban secara bersama-sama dengan menggunakan mobil. Kemudian melakukan berbagai cara, termasuk dengan sedikit orientasi mengancam, yang pada akhirnya untuk mendapatkan sejumlah uang.


    Bila uang itu sudah berada di tangan, biasanya dibagi-bagi secara merata. Tidak jarang, hasil tersebut sebagian diberikan kepada sesama dan terkadang “ makan sendiri”

    more
  • Konflik Kepentingan dan Etika Jurnalistik

    Salah satu prinsip dasar dalam jurnalisme adalah menghindari ”conflict of interest” ketika seorang wartawan sedang meliput sebuah kasus. Seorang wartawan juga sebaiknya menghindari potensi ”conflict of interest” di masa mendatang dalam kaitan dengan profesinya.

    Contoh paling sederhana untuk menerapkan prinsip ini adalah menghindari meliput berita menyangkut saudara atau teman dekat kita yang sedang terlibat kasus. Kita bisa menyerahkan liputan itu kepada teman kita lain, yang bebas dari kemungkinan bias atau kecenderungan menjadi subyektif.

    Menghindari ”conflict of interest” seringkali penting tak hanya bagi si wartawan, tapi juga bagi obyek berita. Seorang pejabat yang sedang dihadapkan pada sebuah kasus, misalnya, seringkali lebih terbela oleh wartawan yang tanpa-bias yang memberitakan apa adanya ketimbang ketika kasusnya diliput oleh wartawan yang dikenal memiliki hubungan khusus dengannya.

    Cara lain adalah menghindari hubungan yang terlalu dekat dengan sumber berita tertentu. ”Terlalu dekat” memiliki pengertian yang relatif. Tentu saja, seorang wartawan tidak bisa menjadi makhluk asosial, yang tidak bergaul dan tidak punya teman. Pekerjaan kewartawanan seringkali terbantu jika kita memiliki banyak teman baik, termasuk jika kita dekat dengan pejabat anu dan jenderal ini. Namun, kita harus waspada bahwa kedekatan semacam itu kadang memiliki harga yang harus dibayar: independensi kita.

    Memiliki teman dekat pejabat atau sumber berita terkenal adalah hal yang wajar. Tapi, terlalu bangga memiliki teman seperti itu kadang mengindikasikan hubungan khusus yang bisa menimbulkan ”conflict of interest”.

    Prinsip menghindari ”conflict of interest” pula yang melandasi salah satu elemen kode etik jurnalistik yang terkenal: wartawan seharusnya menolak menerima amplop, pemberian dan fasilitas khusus.

    Mudah untuk mengenali apakah pemberian atau fasilitas itu bersifat khusus, antara lain dengan cara bertanya: apakah pemberian atau fasilitas itu akan diberikan kepada kita jika kita bukan wartawan? Jika jawabannya tidak, artinya pemberian itu berkatian dengan profesi kita sebagai wartawan, maka itu masuk kategori pemberian dan fasilitas khusus.

    Tapi, apakah kita harus menolak semua bentuk pemberian dari sumber berita? Pada prinsipnya harus menolak. Itu aturan umumnya. Tapi, mungkin ada pengecualian dan ada tinmgkat-tingkatannya.

    Kode Etik Wartawan Indonesia tidak memberi batas besarnya pemberian yang harus ditolak. Banyak yang sepakat bahwa pemberian dalam bentuk uang tunai mungkin harus ditolak. Tapi, bagaimana dengan pemberian dalam bentuk barang?

    Bagaimana dengan pemberian dalam bentuk makan dan minum gratis di restoran atau akomodasi hotel dan perjalanan?

    Sejumlah koran di Amerika dan Eropa tidak membolehkan wartawannya menerima makan siang gratis atau biaya akomodasi perjalanan dan hotel. Jika mereka menerima undangan meliput, koran bersangkutanlah yang membiayai hotel, tiket, biaya makan dan uang saku si wartawan.

    Media di Indonesia umumnya tidak melarang hal ini, suatu hal yang bisa diperdebatkan sepanjang waktu, tapi inti masalahnya menyangkut prinsip ”conflict of interest” tadi.

    Kode etik mengajarkan agar wartawan/media menghindari ”conflict of interest” sebisa mungkin. Pelanggaran terhadap prinsip ini tidak bisa dijustifikasi oleh pernyataan seperti: ”bukankah saya tetap bisa menulis independen meski menerima pemberian atau fasilitas khusus?”

    Anda tak bisa menghilangkan isu ”conflict of interest” dengan menulis independen atau memperlihatkan bahwa Anda bisa mengkritik si pemberi. ”Conflict of interest” tetap ”conflict of interest”, suatu hal yang harus dihindari sebisa mungkin.

    Jika justifikasi itu sedikit diperluas maka kita akan menyalahi logika yang sudah pasti melanggar etika: ”asa kita bisa menulis independen maka kita boleh menerima uang dan pemberian sebesar apapun”. Logika yang keliru.

    Prinsip ini berkaitan dengan kredibilitas berita. Kita boleh saja berbusa-busa mengatakan bahwa kita independen dalam menulis. Tapi publik tetap akan meragukan independensi kita jika mereka tahu kita punya hubungan khusus atau menerima pemberian dari sumber berita.

    Kata kunci dalam pernyataan di atas adalah ”jika mereka tahu”. Dan ini terkait dengan konsep transparansi serta keterbukaan (full disclosure) dalam jurnalisme. Seorang wartawan diwajibkan bersikap transparan dan jujur kepada publik.

    Jika seorang wartawan menerima amplop atau pemberian dari sumber berita, beranikah dia menulis hal itu dalam berita yang ditulisnya? Jika wartawan tidak berani, maka hendaknya dia menghindari sebisa mungkin setiap pemberian.

    ”Conflict of interest” tidak hanya menyangkut pemberian, tapi juga hubungan khusus seperti sudah disebut di atas. Ada kalanya wartawan tidak sepenuhnya bisa menghindari ”conflict of interest”, misalnya wartawan yang menulis analisis saham di bursa tapi dia memiliki saham perusahaan tertentu. Dalam kaitan ini, sebaiknya wartawan menulis full disclosure di bawah tulisannya: ”penulis memiliki saham XYZ”.

    Jika Anda tak berani mencantumkan ”penulis menerima uang dan fasilitas dari sumber berita”, sudah semestinya Anda menolak uang dan pemberian itu.

    ”Conflict of interest” harus dihindari sebisa mungkin. Bukan dicari pembenarannya.

    Jika seorang wartawan tak bisa memegang prinsip ini maka sebenarnya dia kehilangan otoritas moral untuk menulis tentang korupsi para pejabat, penguasaha swasta, lembaga swadaya dan golongan lainnya.

    Cara terakhir untuk menghindari ”conflict of interest” dalam kaitan dengan pemberian uang, barang dan fasilitas adalah memiliki manajemen keuangan pribadi yang bagus. Keinginan untuk memiliki independensi profesional terkait dengan cara kita mengelola keuangan pribadi, sehingga kita tetap bisa menikmati hidup tanpa menerima pemberian.

    Kemiskinan dan gaji kecil tidak bisa menjadi dalih untuk menikmati dan membenarkan”conflict of interest”, memandang enteng pemberian dan fasilitas.

    Wartawan atau jurnalis adalah seorang yang melakukan jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/ dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi,radio,majalah, film dokumentasi, dan internet.

    Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan dapat menuangkannya secara objektif dan tidak memiliki kepentingan dari sudut pandangan yang berbeda pada suatu peristiwa tertentu untuk melayani masyarakat.

    Wartawan Indonesia diharapkan tidak terlibat langsung dalam politik. Jika wartawan terlibat dalam politik, maka independensi serta obyektifitasnya dalam pemberitaan menjadi hilang.

    Jika pers Indonesia tidak netral ini akan meresahkan masyarakat. "Independensi media sangat diperlukan guna menenangkan masyarakat dalam memahami situasi yang berkembang pada saat itu.

    Pers harus memberikan pendidikan politik yang baik dan elegan kepada masyarakat, sehingga dalam masyarakat tidak salah melihat perkembangan yang ada. Tugas kita adalah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, bukan menjadi salah satu motor ( underground / winger) dan berpijak pada suatu kepentingan golongan untuk sebuah kepentingan politik.

    Analisis atau ulasan di media massa, baik analisis politik ekonomi maupun budaya, bisa dinilai dari setidaknya tiga hal: dimensi/perspektif, konteks dan fokus.

    Dalam analisis, seseorang tidak hanya menyoroti fenomena permukaan yang ada sekarang (dimensi masa kini), tapi juga menggali latar belakangnya (dimensi masa lalu). Berbekal dua dimensi itu, analis bisa meramalkan apa yang mungkin terjadi (dimensi masa depan).

    Ada tiga dimensi di situ. Dan mengambil analogi dalam fotografi, kita akan merasakan sebuah analisis yang bagus adalah seperti foto yang bagus, yang memiliki kedalaman (perspektif) hingga ke cakrawala.

    Tujuan dari analisis adalah memberi panduan bagi pembaca masa sekarang untuk bersikap antisipatif terhadap masa depan. Mutu dari ramalan yang dibuat sangat tergantung pada mutu riset dan kedalaman pengetahuan seorang analis terhadap sesuatu hal. Di sini, analis harus memilih dari serangkaian faktor, memilah-milahnya berdasarkan mana faktor yang dominan dan pinggiran.

    Dalam proses pemilahan itu, fakta, data dan faktor-faktor perlu diletakkan dalam konteks yang tepat, sehingga memiliki derajat signifikansi yang tepat pula dalam mempengaruhi masa depan.

    Fokus? Analis yang bagus umumnya menahan diri dari upaya untuk meramalkan tema yang terlalu besar dan ambisius, atau situasi yang faktornya sangat banyak sedemikian sehingga sulit dipilah. Dia harus membatasi fokus pada hal-hal yang memang dia ketahui benar

    more
Jangan ikuti Nafsu duniawi, katakan Anda "Anti Korupsi".

Saya : Kamu tau apa yang sedang aku pikirkan saat ini?

NN : Tidak tahu... apaa..?

Saya : KORUPTOR bajingan yang sedang buka Blog ini

NN : " Gerrrrrrrr...."

“ Yang paling penting untuk memulai memberantas korupsi di Indonesia adalah Moral dan Mental anda. Percaya atau tidak percaya, sekali BAJINGAN tetap BAJINGAN. Negara ini akan melepaskan diri dari jajahan korupsi, bila pahlawan yang akan membebaskan itu, adalah kita masyarakat yang tidak BAJINGAN” .

( ALFRIN C.P SIREGAR )